Akhir-akhir
ini saya sangat suka nonton film, dan
saya diberi beberapa film oleh senior
salah satu judul film tersebut
berjudul “Sex, Lies and Cigarettes”. “ini ada film buat kamu yang suka
ngerokok”, ujarnya sambil menghisap dalam-dalam rokok mild nya.
Film dokumenter
tersebut menggambarkan begitu berbahanya
merokok, dan Indonesia adalah pasar yang sangat potensial untuk bisnis rokok.
Dalam film
tersebut ditayangkan ketika acara Word Tobacco Asia (WTA) 2010, ketika
Indonesia menjadi tuan rumah dalam acara konferensi yang menjadi wadah untuk
memaksimalkan keuntungan transaksi di wilayah asia yang diadakan di balai
sidang Jakarta Convention Center. Salah satu peserta mengatakan Indonesia
sebagai tempat yang menyenangkan sebagai eksekutif tembakau.
Setelah
42 menit-an menyaksikan film, saya mulai berpikir untuk berhenti merokok,
masalah kesehatan saya nomor dua kan, tapi saya tidak mau dijajah oleh
orang-orang luar sana yang meraup keuntunagn sangat besar, sementara rakyat
Indonesia hanya menikmati sedikit keuntungan. Apakah petani tembakau, pedagang
di terminal, pekerja di pabrik, warung-warung disekitar lingkungan saya juga
kaya karenanya?
Saya
mulai merokok ketika masih duduk di kelas
4 SD, waktu itu saya merokok karena ikut-ikutan kakak, dan saya belum
benar-benar menikmati rokok seperti sekarang. Rokok itu saya daptkan dari toko
nenek atau dengan mengorbankan tidak
membeli tekwan Mang Hasan.
Dan berhenti ketika ketauan bibi.
Pengalaman yang menggelikaan.
Banyak
sekali brand rokok di Indonesia, tapi ada beberapa brand rokok besar yang selau
menempel dikepala , mulai dari Djarum, Gudang garam, Sampoerna. Dan nama yang saya sebutkan tadi
adalah perusahaan rokok yang sahamnya juga dimiliki oleh Philip Moris. Itu lho yang
punya Marlboro.
Philip
moris benar-benar tau tempat yang potensial, sasarannya adalah Negara-negara
berkembang. Setelah di pasaran Eropa dan Amerika Utara
tidak memberikan tempat . Bahkan di kota New York di daerah Time Square diantara
gemerlapnya iklan tidak bisa ditemukan ikalan rokok. Harga rokok Marlboro Red
di New York mencapai 12 dolar.
Lain
lagi dengan Indonesia, dimana-mana kita bias menemuakan iklan rokok. Karena
banyak orang hidup dari rokok, bahkan saya bisa berkata kalau kiata menganggur
berjualanlah rokok, coba kita cari lebih banyak penjual beras atau penjual
rokok. Pertandinagan sepak bola, konser musik , samapi dunia pendidikan banyak
di sponsori oleh perusahan rokok.
Memang
rokok bisa menggerakkan roda perekonomian, tahun 2009 menyumbang 7 milyar dolar
ke kas Negara, sehingga pelaku bisnis bisa mengintervensi pemerintah untung menghilang
pasal nikotin sebagai obat adiktif dalam undang-undang tentang kesehatan tahun
2009. Tapi miliaran dolar pula yang diambil untuk biaya kesehatan, dan
mendukung proses kemiskinan karena pengeluaran masyarakat banyak digunakan
untuk rokok, termasuk keluarga saya.
Apa saya
salah satu orang yang akan mati muda?
Bener
juga uang saya abis juga gara-gara rokok, coba kalo buat beli buku sama les
Bahasa Inggris!
Sekarang
saya berada di persimpangan, andaikan rokok itu mahal tentu saya juga akan
berpikir dua kali untuk membeli rokok. Tapi dimana-dimana saya bisa temukan
rokok. Hanya dengan 1000 rupiah saya bisa dapatkan satu batang. Lalu siapa yang
salah?
Ah
bingung!