Rabu, 08 Februari 2012

Di Persimpangan


Akhir-akhir  ini saya sangat suka nonton film, dan saya diberi beberapa film oleh senior  salah satu judul film tersebut  berjudul “Sex, Lies and Cigarettes”. “ini ada film buat kamu yang suka ngerokok”, ujarnya sambil menghisap dalam-dalam rokok mild nya.
Film dokumenter tersebut  menggambarkan begitu berbahanya merokok, dan Indonesia adalah pasar yang sangat potensial untuk bisnis rokok.
Dalam film tersebut ditayangkan ketika acara Word Tobacco Asia (WTA) 2010, ketika Indonesia menjadi tuan rumah dalam acara konferensi yang menjadi wadah untuk memaksimalkan keuntungan transaksi di wilayah asia yang diadakan di balai sidang Jakarta Convention Center. Salah satu peserta mengatakan Indonesia sebagai tempat yang menyenangkan sebagai eksekutif tembakau.
Setelah 42 menit-an menyaksikan film, saya mulai berpikir untuk berhenti merokok, masalah kesehatan saya nomor dua kan, tapi saya tidak mau dijajah oleh orang-orang luar sana yang meraup keuntunagn sangat besar, sementara rakyat Indonesia hanya menikmati sedikit keuntungan. Apakah petani tembakau, pedagang di terminal, pekerja di pabrik, warung-warung disekitar lingkungan saya juga kaya karenanya?
Saya mulai merokok ketika masih duduk di kelas  4 SD, waktu itu saya merokok karena ikut-ikutan kakak, dan saya belum benar-benar menikmati rokok seperti sekarang. Rokok itu saya daptkan dari toko nenek  atau dengan mengorbankan tidak membeli  tekwan  Mang Hasan. Dan berhenti ketika ketauan bibi.  Pengalaman yang menggelikaan.
Banyak sekali brand rokok di Indonesia, tapi ada beberapa brand rokok besar yang selau menempel dikepala , mulai dari Djarum, Gudang garam,  Sampoerna. Dan nama yang saya sebutkan tadi adalah perusahaan rokok yang sahamnya  juga dimiliki oleh Philip Moris. Itu lho yang punya Marlboro.
Philip moris benar-benar tau tempat yang potensial, sasarannya adalah Negara-negara berkembang. Setelah di pasaran Eropa dan Amerika Utara tidak memberikan tempat . Bahkan di kota New York di daerah Time Square diantara gemerlapnya iklan tidak bisa ditemukan ikalan rokok. Harga rokok Marlboro Red di New York mencapai 12 dolar.
Lain lagi dengan Indonesia, dimana-mana kita bias menemuakan iklan rokok. Karena banyak orang hidup dari rokok, bahkan saya bisa berkata kalau kiata menganggur berjualanlah rokok, coba kita cari lebih banyak penjual beras atau penjual rokok. Pertandinagan sepak bola, konser musik , samapi dunia pendidikan banyak di sponsori oleh perusahan rokok.
Memang rokok bisa menggerakkan roda perekonomian, tahun 2009 menyumbang 7 milyar dolar ke kas Negara, sehingga pelaku bisnis  bisa mengintervensi pemerintah untung menghilang pasal nikotin sebagai obat adiktif dalam undang-undang tentang kesehatan tahun 2009. Tapi miliaran dolar pula yang diambil untuk biaya kesehatan, dan mendukung proses kemiskinan karena pengeluaran masyarakat banyak digunakan untuk rokok, termasuk keluarga saya.
Apa saya salah satu orang yang akan mati muda?
Bener juga uang saya abis juga gara-gara rokok, coba kalo buat beli buku sama les Bahasa Inggris!
Sekarang saya berada di persimpangan, andaikan rokok itu mahal tentu saya juga akan berpikir dua kali untuk membeli rokok. Tapi dimana-dimana saya bisa temukan rokok. Hanya dengan 1000 rupiah saya bisa dapatkan satu batang. Lalu siapa yang salah?
Ah bingung!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar